Senin, 31 Januari 2011

DEMOKRASI DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag
(Ketua Harian KAHMI Kalbar)
Membincangkan demokrasi dan kerukunan antar umat beragama bagaikan melihat dua sisi mata uang. Meskipun berbeda, keduanya tidak bisa dipisahkan karena memiliki nilai yang sama dan sebanding. Di berbagai wilayah di dunia, kita sedang menyaksikan kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan untuk memperkokoh pembentukan sistem sosial dan politik yang lebih demokratis. Agama menjadi media yang baik untuk memberi pemahaman tentang demokrasi. Sementara di pojok-pojok dunia yang lain, keduanya saling berbenturan. Agama tidak jarang dijadikan sebagai alat provokasi dan bahkan, sebagai jastifikasi.  
Secara sederhana demokrasi dipahami sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyatlah yang berdaulat untuk membentuk negara yang merupakan manifestasi dari kebutuhannya sebagai zoon politicon atau makhluk politik. Dalam bingkai politik yang disepakati, semua anggota yang ada dalam komunitas atau wilayah pemerintahan akan diperlakukan sama, tanpa membedakan agama, suku atau kepercayaannya.
Di sisi lain, agama merupakan sistem kepercayaan. Agama yang dalam pengertian lugawi atau bahasa berarti tidak kacau. Ia mencakup berbagai ritual dan pengalaman yang berhubungan dengan hal-hal yang “sakral”, “abadi” dan “mutlak”.  Kebenaran-kebenaran yang sakral dan mutlak suatu agama menjadi batas nyata atau simbolik yang membedakannya dengan kebenaran yang sakral dan mutlak agama lainnya. Jika diperlakukan sangat serius dan dengan terlalu bersemangat, batas-batas tersebut, sebagaimana dikatan oleh Saad Eddin Ibrahim akan sangat berbahaya karena dapat  menyebabkan pertumpahan darah. 
Meskipun diakui demokrasi bukan sistem politik yang terbaik, sebagaimana  diungkapkan salah Sang empu pemikir Aristoteles, tetapi ia (baca: demokrasi) merupakan satu-satunya (sistem) yang ditemukan manusia yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri. Meskipun demokrasi memiliki kelemahan internal, orang cendrung dan memilih sistem demokrasi sebagaimana dikatakan Cak Nur (2000:12) dengan harapan bahwa perbaikan dapat dilakukan terus menerus seiring perubahan yang dinamis.
Menurut ajaran Islam, politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Artinya, tindakan politik tidaklah independen. Namun, tidaklah benar meng-agamakan politik atau mempolitikkan agama sebagaimana jamak dijumpai akhir-akhir ini. Pasca reformasi, beberapa  tahun terakhir ketika kran demokrasi dibuka lebar-lebar,  justru orang berlomba-lomba menjadikan agama sebagai tameng politik mereka. Agama diseret-seret untuk kepentingan sesaat. Tidak peduli hal-hal yang dilakukan justru berseberagan dengan nilai atau ajaran agama.  Politik menjadi semacam “agama” baru bagi mereka yang syahwat kekuasaannya berlebih. Tidak segan-segan mempolitikkan agama meskipun resiko mengorbankan kerukuan umat beragama.
Mengenai hal ini, Zumri Bestado (2001:128-129) lebih detail menjelaskan bahwa agama tidak boleh mengabdi pada tujuan-tujuan politik. Bila ini terjadi, maka akan menimbulkan ketidak harmonisan terhadap perbedaan dan keragaman. Kondisi ini akan memudahkan munculnya kekerasan dengan pembenaran agama. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah membuat tujuan-tujuan politik yang inspirasi oleh nilai-nilai spititulitas agama untuk mencapai dan mencerahkan tujuan politik sebagai tujuan masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam konteks Indonesia, hubungan demokrasi dan agama mengalami dinamika. Terkadang muncul riak-riak berpolitik mengatas namakan agama. Seringkali agama dijadikan tameng oleh pihak tertentu untuk meraih dukungan. Tragisnya tidak sedikit yang “menghalalkan” segala cara untuk memuluskan tujuannya. Padahal cara-cara “busuk” sangat dilarang oleh semua ajaran agama.
Berdemokrasi dan beragama merupakan hak azazi. Keduanya dipertemukan melalui “jembatan” prinsip kebebasan. Dengan prinsip kebebasan ini manusia dapat menjadi merdeka dan dapat memanusiakan dirinya. Dengan prinsip kebebasan itu, orang tidak merasa tertekan untuk menyalurkan aspirasinya dan bebas menjalankan agama yang diyakininya. Orang yang beragama, berdemokrasi akan menjadikan agama sebagai sumber dan dasar-dasar inspirasi, spiritual, dan moral dalam setiap tarikan nafasnya dan perilakunya. Karena itu, dalam berdemokrasi dan beragama, kita dituntut untuk mendewasakan sikap mental dengan mengutamakan toleransi, menebarkan cinta kasih, mengokohkan persaudaraan, menumbuhkan kedamaian dan bekerja sama dalam membangun masyarakat sebagai manifestasi substansi agama. Inilah tugas terpenting kita bersama sebagai anak bangsa untuk merajut demokrasi dan merawat kerukunan umat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar